Review Avatar: Fire and Ash – Menari di Atas Bara Api!

Review Avatar: Fire and Ash – Menari di Atas Bara Api!

Games
23 December 2025
10 views

Selama lebih dari tiga dekade, nama James Cameron hampir selalu identik dengan kata fenomenal. Titanic (1997), Avatar (2009), dan Avatar: The Way of Water (2022) sama-sama menuai pujian kritikus sejak hari pertama rilis dan bahkan masuk nominasi Best Picture Oscar.

Maka wajar jika muncul keterkejutan ketika Avatar: Fire and Ash justru mendapat respons awal yang terbelah. Untuk pertama kalinya sejak era True Lies (1994), publik mulai mempertanyakan: apakah James Cameron akhirnya terpeleset?

top up Roblox DG

Pertanyaan itu ikut menghantui banyak penonton sebelum memasuki bioskop IMAX 3D. Namun, alih-alih kekecewaan, Fire and Ash justru tampil sebagai film Avatar paling berani, paling liar, dan paling emosional sejauh ini. Film ini mungkin bukan yang paling rapi secara naskah, tetapi dari segi visi, skala, dan pengalaman sinematik, Cameron kembali membuktikan bahwa ia masih King of the World.

Tanpa Roda Penyangga

Jika Avatar berfungsi sebagai pengenalan dunia Pandora dan The Way of Water menjadi fase pendalaman karakter serta budaya, maka Fire and Ash langsung melepas semua training wheels. Cameron tidak lagi memandu penonton dengan sabar. Film ini dimulai cepat, padat, dan sangat percaya diri, seolah mengasumsikan bahwa penonton sudah benar-benar mengenal Jake Sully, Neytiri, dan seluruh dinamika keluarga Sully.

Pendekatan ini membuat Fire and Ash terasa jauh lebih “inside baseball” dibanding dua film sebelumnya. Namun justru di situlah kekuatannya. Fondasi dunia dan emosi sudah tertanam kuat, sehingga Cameron bebas mendorong cerita ke wilayah yang lebih ekstrem, lebih gelap, dan lebih berisiko.

Duka, Iman, dan Eksistensi

Hal paling mengejutkan dari Avatar: Fire and Ash adalah tema eksistensialnya. Film ini bukan sekadar pertarungan Na’vi versus manusia, melainkan kisah tentang iman, kehilangan, dan pertanyaan mendasar tentang keberadaan Eywa. Setelah tragedi yang menimpa keluarga Sully, muncul pertanyaan besar jika Eywa benar-benar ada, mengapa penderitaan ini dibiarkan terjadi?

Untuk pertama kalinya, Cameron secara terang-terangan menempatkan refleksi spiritual dan filosofis di pusat blockbuster bernilai miliaran dolar. Isu lingkungan yang dulu terasa gamblang kini disajikan lebih dewasa dan bernuansa. Fire and Ash terasa seperti meditasi tentang tanggung jawab, baik terhadap alam maupun sesama makhluk hidup, yang relevan dengan dunia nyata saat ini.

Performa yang Sangat Manusiawi

Di balik teknologi motion capture dan visual CGI yang nyaris sempurna, Fire and Ash justru unggul lewat performa para aktornya. Sam Worthington dan Zoe Saldaña kembali sebagai Jake dan Neytiri dengan emosi yang terasa jauh lebih matang dan rapuh. Hubungan mereka bukan lagi kisah cinta heroik, melainkan potret pasangan yang dilanda trauma, perbedaan pandangan, dan keputusan-keputusan kejam demi bertahan hidup.

Stephen Lang tampil luar biasa sebagai Miles Quaritch. Karakter yang dulu terasa satu dimensi kini berkembang menjadi antagonis paling menarik dalam franchise ini, terutama lewat dinamika tak terduga dengan Varang, pemimpin klan api Mangkwan yang diperankan Oona Chaplin. Varang sendiri adalah kejutan besar: karismatik, brutal, dan benar-benar mengancam. Setiap adegan yang melibatkan Quaritch dan Varang terasa seperti bara api yang siap meledak.

Jack Champion sebagai Spider juga mengalami peningkatan signifikan. Dari karakter yang sempat terasa mengganggu, Spider kini menjadi poros emosional cerita, dengan konflik identitas dan loyalitas yang kuat.

Spektakel Tanpa Tanding

Soal aksi dan visual, James Cameron masih berada di kelasnya sendiri. Fire and Ash dipenuhi set piece yang begitu kompleks, berlapis, dan presisi hingga sulit dipercaya. Adegan-adegannya bukan sekadar besar, tetapi juga mudah diikuti, meski melibatkan banyak karakter, makhluk, dan kendaraan sekaligus.

Pengenalan klan Wind Traders dengan armada udara mereka yang ditarik makhluk raksasa mirip ubur-ubur menjadi salah satu momen visual paling memukau di seluruh saga Avatar. Begitu pula klan Mangkwan yang mengusung estetika api, abu, dan kehancuran, menghadirkan kontras tajam dengan keindahan Pandora yang selama ini kita kenal.

Final battle-nya memang kacau dan terkadang membingungkan, dengan karakter yang seolah tak pernah benar-benar mati. Namun kekacauan itu juga mencerminkan ambisi Cameron: menjejalkan sebanyak mungkin ide, emosi, dan adrenalin ke dalam satu klimaks raksasa.

Cerita yang Berantakan, tapi Menghibur

Tak bisa dimungkiri, dari sisi penulisan, Avatar: Fire and Ash adalah film yang berantakan. Subplot Lo’ak dengan makhluk laut raksasa, krisis identitas Kiri, dilema moral soal rahasia udara Pandora, hingga aliansi manusia-Na’vi semuanya berebut perhatian. Beberapa ide terasa setengah matang, dan ada momen di mana film ini seolah lupa bernapas.

Namun anehnya, semua itu tidak terlalu mengganggu pengalaman menonton. Avatar sejak awal memang lebih tentang sensasi dan imersi ketimbang kesempurnaan naratif. Dan dalam hal itu, Fire and Ash bekerja dengan sangat efektif.

Visi Gila James Cameron

Pada akhirnya, kekuatan terbesar Avatar: Fire and Ash adalah visi James Cameron yang nyaris tidak masuk akal. Ini adalah film ketiga dalam saga, namun justru terasa paling personal sekaligus paling ambisius. Skala dunia semakin luas, karakternya semakin kompleks, dan konflik emosinya semakin dalam.

Cameron sekali lagi membuktikan kemampuannya membuat sekuel, bahkan threequel yang tidak sekadar mengulang, tetapi memperbesar dan memperdalam apa yang sudah ada. Film ini memang berima dengan pendahulunya, namun dengan volume yang lebih keras dan emosi yang lebih tajam.

Avatar: Fire and Ash bukan film Avatar yang paling rapi, dan mungkin bukan yang paling mudah dicintai semua orang. Namun sebagai pengalaman sinematik, film ini adalah pertunjukan gila yang penuh keberanian, emosi, dan imajinasi. Di tengah cerita yang semrawut dan durasi panjang, Cameron tetap berhasil menghadirkan sesuatu yang jarang: blockbuster raksasa dengan jiwa.

Menari di atas bara api, Avatar: Fire and Ash mungkin membakar sebagian penontonnya, tetapi bagi mereka yang siap kembali ke Pandora, film ini adalah perjalanan yang liar, indah, dan tak terlupakan.

Nantikan informasi-informasi menarik lainnya dan jangan lupa untuk ikuti Facebook dan Instagram Dunia Games ya. Kamu juga bisa dapatkan voucher game untuk Mobile Legends dengan harga menarik hanya di Top-up Dunia Games.